author-pic

Ferry S

An ISTJ, Type 5, Engineer, Gamer, and Thriller-Movies-Lover
Menjadi Minoritas (Toxic Extended Family)
Thu. Jan 7th, 2021 11:35 AM5 mins read
Menjadi Minoritas (Toxic Extended Family)
Source: Bing Image Creator - Toxic Family

Minoritas di sini maksudnya bukan tentang agama, suku ataupun warna kulit. Tapi lebih tentang kepribadian. Di lingkungan gw, sudut pandang gw cenderung berbeda dengan orang-orang yang membuat gw menjadi sangat pendiam. Gw pendiam bukan karena terlalu takut untuk mengutarakan sesuatu, tapi males mendengar tanggapan orang-orang di lingkungan. Sehingga ga mungkin semua hal yang ada di dalam pikiran gw tuangkan semuanya. Gw menghargai perbedaan tersebut, tapi kadang orang-orang di lingkungan gw yang ga siap menerimanya. Kadang ketika gw ungkapkan gw ditertawakan, gw dianggap halu, gw dianggap membangkang udah ga nurut lagi. Makanya yang bisa gw lakukan hanyalah memendam apa yang gw pikirkan. Kadang kelamaan dipendam rasanya suatu saat akan meledak. Pernah juga beberapa kali meledak, gw dicap pembangkang, pemberontak, bodoh, dan umpatan lainnya. Karena mereka mayoritas, semuanya merasa paling benar dan gw yang kalah. Gw selalu dianggap anak kecil yang lemah ga tau apa-apa. Setiap argumen gw selalu dibalas dengan argumen subjektif seperti "we are your family" or "she gave birth to you" seolah kehabisan respons.

System kasta di sini berdasarkan hierarchy keluarga. Ucapan orang yang lebih tua adalah yang lebih benar. Dari kecil gw selalu didikte tentang hal apapun. Ini hal yang paling gw benci. Gw paling ga suka didikte dengan hal-hal yang bersifat personal. Gw sering merasa stress jika harus didikte ini itu, harus begini harus begitu tanpa persetujuan gw sendiri. Seperti waktu kecil gw pernah ngamuk ketika didikte saat bikin PR ketika gw merasa belum butuh dibantu. Atau ketika gw dibangunin sahur dengan paksa, seringkali gw menunda untuk bangun walaupun sebenarnya udah bangun, bukan karena gw masih ngantuk, tapi karena gw ga nyaman diteriaki seperti itu. Hingga sekarang pun mereka ga pernah mengerti itu dan masih mendikte. Padahal gw punya visi sendiri, dan goals tersendiri. Yang lain hanya bisa sekedar memberi saran secara objektif, bukan mendikte dengan dalih berpura-pura memberi saran. Ini satu hal lagi yang gw benci, gw ga suka berpura-pura. Gw ga suka melihat orang berpura-pura di depan gw agar gw prihatin atau kasihan (it never worked!), dan gw juga ga suka berpura-pura untuk menyenangkan hati orang lain.

Orang-orang ga bisa ngebedain mana yang sifatnya personal, keluarga, professional dan hal umum. Terkadang orang-orang ikut mendikte urusan personal gw seperti urusan karir, jodoh, masa tua, dan lainnya. Semuanya udah gw rancang, 5 tahun lagi, 10 tahun lagi, bahkan pas tua nanti gw seperti apa udah gw rancang big picture-nya, positive case hingga worst case-nya. Tapi ga perlu juga semua orang harus tahu, gw juga punya privasi terhadap hal-hal personal. Dan gw juga kurang nyaman ngomongin itu dengan orang-orang. Ada batasan-batasan tertentu antara privasi yang bisa gw bagi dan yang nggak.

Gw ga suka didikte, kecuali gw emang mau melakukannya. Tapi seringkali gw diancam dan ga dikasih pilihan agar mau menurutinya, atau kadang playing victim agar gw kasihan (it never worked!). Gw malah makin stress kalau dipaksa. Orang-orang tau itu tapi mereka ga peduli. Setiap brainstorming selalu pendapat gw dikeroyok, jarang banget lewat diskusi sehat. Ketika gw terpojok gw bisa saja marah dan melontarkan umpatan yang ga seharusnya gw ucapkan. Api dibalas dengan api bukannya menjadi dingin, tapi malah bertambah panas. Tinggal tunggu aja siapa ledakannya yang paling besar.

Di luar terlihat harmonis, semuanya baik-baik saja, tapi secara batin kurang terkoneksi. Jarang banget gw merasa homesick. Kalaupun ada, itu juga sebatas karena kangen main sama keponakan aja. Gw merasa lebih bebas ketika gw menyendiri. Orang-orang hanya seperti peduli tapi tutup mata dan telinga. Mereka merasa mengenal gw, padahal ga paham gw sebenarnya. "Keluarga" selalu dianggap paling mengerti segala hal. Ga logis. Keluarga itu tentang biologis, bukan tentang psikologis. Sekalipun keluarga, tapi kalau komunikasinya mampet, no bond inside. Yang ada malah saling menghakimi. Mereka selalu merasa benar dengan dalih "kami melakukan yang terbaik". Bullshit. Gw lebih tau apa yang terbaik buat diri gw, kalaupun gw butuh pendapat atau bantuan gw bakal ngomong sendirinya. Dari kecil gw ga nyaman ngomong ditelepon, apalagi kalau hanya sekedar basa-basi, bertele-tele. Dari dulu gw lebih suka berekspresi dengan tulisan. Gw ga suka basa-basi dan ga bisa berpura-pura menyukainya. Gw hanya ngomong kalau topiknya cocok dengan gw dan itu natural sendirinya, bukan karena disuruh. Sedangkan disini standar "pinter" itu harus "berceloteh" mulu. Meskipun berprestasi, pinter dalam bidang apapun, tapi introvert, tetap aja disebutnya bego.

Entahlah, apakah ini termasuk toxic family atau gw sendiri yang toxic. Gw juga ga tau. Toxic family digambarkan dengan sikap mengkritik tanpa henti, mengancam, dan kerap mengucapkan hal-hal buruk tentang anak. Berapa kali pun anak mencetak prestasi, setinggi apa pun capaiannya, tidak diapresiasi kecuali jika sesuai dengan keinginan mereka. Giliran si anak melakukan kesalahan, hujan cemooh dan hukuman menanti dirinya. Atau kadang dibandingkan dengan anak lain, dan ga jarang hal yang dibandingkan itu palsu. Gw ga tau apakah ini termasuk trauma masa kecil. Hal ini selalu gw hadapi dan gw pendam dari kecil bahkan hingga saat gw dewasa seperti cerita gw di tulisan Ketika Impian Terkhianati. Gw pernah sempat memaafkan keadaan ini ketika gw udah kerja jadi engineer, di bidang teknologi seperti salah satu cita-cita waktu kecil dulu. Tapi ketika gw pulang saat itu, luka lama itu dibuka kembali ketika mereka meminta gw untuk menjadi PNS saja. Gw seperti boneka yang harus mengikuti kemana dalangnya suka. Semua usaha yang gw lakukan untuk mewujudkan cita-cita yang dibebankan saat kecil dulu jadi sia-sia. Rasa yang gw pendam selama gw mengejar mimpi meledak menjadi sebuah pemberontakan batin. Apa yang gw lakukan ga pernah cukup selama itu bukan kemauan mereka. Apa yang gw rasakan saat ini adalah akumulasi dari semua yang gw pendam.

Hidup ini bukan kompetisi. Bukan tentang siapa yang menang atau kalah. Bukan tentang siapa yang lulus duluan. Bukan tentang siapa yang diterima kerja duluan. Bukan tentang siapa yang menikah duluan. Bukan tentang siapa yang punya anak duluan. Bukan tentang siapa yang punya menantu duluan. Bukan tentang siapa yang punya cucu duluan. Setiap orang punya timeline masing-masing. Apa langkah yang bakal diambil itu urusan personal. Anggota keluarga yang toxic seringkali terlalu dominan mengatur segala hal. Keyword "keluarga" menjadi tameng pembenaran. Padahal ga semua urusan harus keluarga yang atur, semua ada batasannya. Setiap anak itu unik. Berikan anak kebebasan dalam mencari jati dirinya. Kembalikan fungsi keluarga sebagai tempat mendapatkan support, bukan tempat untuk menghakimi.

Gw emang menyadari sifat dan pola pikir gw cenderung berbeda sendiri dengan keluarga yang lain. Gw sih menerima perbedaan itu, gw ga pernah komplain apalagi memaksa orang untuk punya pendapat yang sama. Masalahnya gw ga bisa jika dipaksa untuk berpikir sama seperti mereka. Karakter masyarakat yang cenderung kolektif dan meletakkan keluarga, pernikahan, atau orangtua di tempat tinggi membuat sebagian orang kesulitan keluar dari situasi toxic family. Mempunyai pendapat yang berseberangan dengan orang yang lebih tua dianggap sebagai "dosa" sehingga banyak anak yang memilih menurut saja sekalipun itu menyakiti perasaan mereka. Gw ingin mengubah "birokrasi" seperti ini. Setidaknya dimulai dari diri gw sendiri dulu. At least, ini bisa jadi pelajaran untuk keluarga baru gw kelak di masa depan. Mengasuh anak bukan hanya tentang memberi makan dan uang, tapi juga tentang memberi pengertian, komunikasi, dan mengenali personality anak. Jangan buat anak menjadi orang yang merasa asing di keluarganya sendiri. Jadikan rumah sebagai tempat yang nyaman bagi anak sebagaimana mestinya.