author-pic

Ferry S

An ISTJ, Type 5, Engineer, Gamer, and Thriller-Movies-Lover
Strategy Saham: Pengalaman Investasi selama 4 Bulan
Sun. Jun 19th, 2022 04:27 PM7 mins read
Strategy Saham: Pengalaman Investasi selama 4 Bulan
Source: Bing Image Creator - investment thumbnail

4 bulan sudah gw rutin investasi saham dan reksadana. Seperti yang udah gw ceritakan sebelumnya, gw hanya learning by doing, jadi masih awam banget😅. Tapi setelah 4 bulan ini gw mulai mendapatkan pembelajaran berharga. Sedikit demi sedikit mata batin gw mulai terbuka tentang investasi saham😁. Duit gw pernah “nyangkut” di saham gorengan gara-gara FOMO ngikutin kata orang yang lagi naik. Gw juga pernah panik cutloss ratusan ribu. Total return gw pernah minus Rp400 ribu. Kemudian setelah belajar dari kesalahan alhamdulillah surplus lagi Rp1 juta-an🤑. Sebagai self-reminder, gw bikin tulisan ini untuk membahas strategy-strategy investasi yang umum digunakan biar yang lain ga ikut tersesat😀.

Ini adalah strategy investasi paling ga ribet. Caranya adalah dengan invest dalam jumlah yang banyak pada satu waktu, lalu hasilnya dinikmati nanti setelah bertahun-tahun. Biasanya dilakukan ketika mendapatkan momentum yang pas pada saat market crash sehingga harga saham pada murah. Atau pada saat sebuah emiten melakukan IPO, karena biasanya emiten yang baru IPO harganya murah. Pada momen tertentu biasanya investor juga akan membeli lagi dalam jumlah banyak saat nilainya turun atau istilahnya “menyerok” untuk memangkas jarak average harga yang dimiliki dengan harga saham pada saat itu. Ini termasuk strategy jangka Panjang yang bisa dinikmati keuntungannya 5-10 tahun yang akan datang. Tapi resikonya juga tinggi, bayangkan setelah beli banyak lot, ternyata harganya malah anjlok, rugi besar tuh😅. Strategy ini umum dilakukan oleh para ‘sultan’ yang ga terlalu mempedulikan naik-turunnya harga pasar, contohnya Yenni Wahid yang memborong saham WIRG.

Inilah strategy investasi yang paling gampang dan mudah diimplementasikan. Strategy ini dipopulerkan oleh Warren Buffett. Caranya sama kayak menabung secara berkala. Jumlah lot yang kita beli sesuai dengan budget perbulan yang ingin kita investasikan. Gampangnya, rumus Dollar Cost Averaging adalah jumlah lot yang dibeli = budget invest perbulan / harga 1 lot saat ini. Misalkan budget kita perbulan adalah Rp1 juta. Harga saham sebuah emiten pada saat itu 1 lot = Rp100 ribu. Maka perhitungannya adalah 1.000.000 / 100.000 = 10 lot. Jadi pada bulan itu kita belinya 10 lot. Begitu juga pada bulan kedua, ketiga, dan seterusnya, tinggal hitung aja sesuai rumus di atas. Ketika harga sahamnya 1 lot = Rp200 ribu (1.000.000 / 200.000), berarti dengan Rp1 juta kita bisa beli 5 lot. Ketika harga sahamnya 1 lot = Rp50 ribu (1.000.000 / 50.000), berarti dengan uang Rp1 juta kita bisa beli 20 lot. Strategy ini cocok diterapkan pada emiten blue chip atau yang fundamentalnya bagus seperti BBCA, BYAN, dll. Ini strategy yang umum diterapkan oleh pemula karena ga terlalu banyak mikir, cukup fokus menabung tiap bulan sesuai budget. Ini termasuk strategy jangka menengah yang keuntungannya bisa dinikmati 1-5 tahun yang akan datang. Resikonya tergolong rendah karena mau naik atau turun pun average pembelian kita akan mengikutinya.

Ini salah satu strategy andalan gw😎. Strateginya mirip sama Dollar Cost Averaging, karena sama-sama dilakukan secara berkala. Bedanya ini sedikit rumit perhitungannya. Kalau Dollar Cost Averaging kita menginvestasikan uang secara tetap setiap bulan sesuai budget, sedangkan Value Averaging lebih fleksibel, kita menginvestasikannya tergantung total nilai investasi berlangsung dan harga pasar pada saat itu. Bisa jadi kita harus invest lebih besar dari budget bulanan, bisa jadi juga kita invest lebih kecil dari budget bulanan. Adakalanya kita ga invest sama sekali pada suatu bulan, adakalanya juga kita akan jual saham atau taking profit sebagian ketika total nilai investasi dan harga pasar mencapai nilai tertentu sesuai rumus. Sementara pada Dollar Cost Averaging taking profitnya hanya di akhir ketika tujuan investasi sudah tercapai. Rumus Value Averaging adalah jumlah lot yang dibeli = ((budget invest perbulan * total bulan berlangsung) - (total lot sebelumnya * harga 1 lot)) / harga 1 lot. Gimana? Ribet kan🤣🤣. Misalkan kita targetkan budget Rp1 juta perbulan untuk sebuah emiten.

Bulan ke Budget perbulan Harga 1 unit Harga 1 lot Total lot sebelumnya Rumus pembelian Jumlah lot yang harus dibeli Total lot setelah pembelian
1 1.000.000 1.000 100.000 0 ((1.000.000 * 1) – (0 * 100.000)) / 100.000 10 10
2 1.000.000 1.100 110.000 10 ((1.000.000 * 2) – (10 * 110.000)) / 110.000 8 18
3 1.000.000 900 90.000 18 ((1.000.000 * 3) – (18 * 90.000)) / 90.000 15 33
4 1.000.000 1.200 120.000 33 ((1.000.000 * 4) - (33 * 120.000)) / 120.000 0 33
5 1.000.000 1.620 162.000 33 ((1.000.000 * 5) - (33 * 162.000)) / 162.000 -2 31

Di bulan pertama harganya 1 lot = Rp100 ribu. Berarti perhitungannya ((1.000.000 * 1) – (0 * 100.000)) / 100.000 = 10. Artinya kita beli 10 lot pada bulan pertama. Bulan kedua harga saham tersebut naik menjadi 1 lot = Rp110 ribu. Berarti rumus di bulan kedua adalah ((1.000.000 * 2) – (10 * 110.000)) / 110.000 = 8.18. Itu artinya di bulan tersebut kita hanya perlu invest sebanyak 8 lot saja, sekitar 8 * 110.000 = 880.000, jadi cukup Rp880 ribu saja pada bulan kedua. Sehingga sekarang kita memiliki total 18 lot (10 + 8). Lanjut bulan ketiga, harga saham tersebut turun jadi 1 lot = Rp90 ribu. Berarti perhitungannya untuk bulan ketiga adalah ((1.000.000 * 3) – (18 * 90.000)) / 90.000 = 15.33. Maka di bulan ketiga kita perlu invest 15 lot, sekitar 15 * 90.000 = 1.350.000, jadi kita perlu invest lebih banyak yaitu senilai Rp1 juta 350 ribu. Sehingga sekarang kita memiliki total 33 lot (10 + 8 + 15). Di bulan keempat harganya naik jadi Rp120 ribu, rumusnya jadi ((1.000.000 * 4) - (33 * 120.000)) / 120.000 = 0.33. Maka di bulan keempat kita ga perlu invest. Di bulan kelima harganya naik lagi jadi Rp162 ribu, rumusnya sekarang ((1.000.000 * 5) - (33 * 162.000)) / 162.000 = -2.13. Artinya kita taking profit dulu sebanyak 2 lot di bulan kelima senilai 2 * 162.000 = Rp324.000🤑. Begitu seterusnya pada bulan-bulan berikutnya, tinggal ikuti aja rumusnya. Biar ga ribet, bisa cobain di kalkulator yang gw bikin. Strategy ini cocok diimplementasikan oleh investor yang ga punya banyak waktu buat Analisa teknikal tiap harinya seperti gw😁. Ini juga merupakan strategy jangka menengah yang keuntungannya bisa dinikmati antara 1-5 tahun yang akan datang, dan resikonya tergolong rendah seperti Dollar Cost Averaging. Sebagian orang menganggap strategy ini sedikit lebih baik daripada Dollar Cost Averaging karena biaya yang dikeluarkan biasanya lebih sedikit tapi secara persentase keuntungannya cenderung lebih tinggi. Worst case-nya adalah jika harganya anjlok investor bisa saja invest 2 kali lipat dari budget bulanan.

Strategy ini sangat berbeda dengan strategy-strategy sebelumnya yang lebih memperhatikan fundamental emiten. Swing trading lebih memperhatikan Analisa teknikal dari candle stick sebuah emiten berdasarkan riwayat kinerja pada jangka waktu tertentu. Definisi gampangnya, Swing Trading itu memborong saham saat harganya murah atau berpotensi akan naik lalu segera dijual saat harganya telah naik pada titik tertentu (Taking Profit) untuk mengamankan profit sebelum turun, atau saat harganya turun pada titik tertentu (Cut Loss) untuk menghindari kerugian yang lebih dalam. Keuntungannya bisa langsung dinikmati dalam hitungan jam, hari, atau minggu karena ini strategy jangka pendek. Biasanya keuntungannya per-saham itu tipis-tipis😁. Strategy ini cukup popular karena resikonya paling rendah dibanding yang lain. Gw sendiri ga menggunakan strategy ini karena gw ga punya waktu banyak buat analisa teknikal tiap harinya😅.

Salah satu strategy jangka pendek yang sering digunakan selain Swing Trading adalah Dividen Hunting. Perusahaan yang baik adalah perusahaan yang senantiasa membagi keuntungannya kepada para investornya tiap tahunnya, seperti membagikan dividen. Emiten yang akan membagi dividen akan mengumumkan Cumulative Date (hari terakhir sebelum pencatatan), Recording Date (hari pencatatan), Distribution Date (hari penjatahan) dan Payment Date (hari pembayaran) terlebih dahulu. Inilah yang dimanfaatkan oleh para Dividen Hunter untuk segera membeli saham emiten tersebut sebelum Cumulative Date berakhir agar tercatat sebagai investor yang akan mendapatkan dividen. Makanya ga jarang sebelum Cumulative Date berakhir harga saham tersebut cenderung naik bahkan kadang ARA (Auto Reject Atas) sehingga yang lain susah beli. Ini termasuk strategy yang gampang, beli dalam jumlah banyak sebelum Cumulative Date, dan jual setelah Cumulative Date berakhir. Hanya saja resikonya ketika Cumulative Date berakhir orang-orang pada berbondong-bondong menjual saham sehingga nilainya langsung turun bahkan hingga ARB (Auto Reject Bawah) dan dananya nyangkut🤣. Makanya kadang Dividen Hunter ini membelinya saat perusahaan mengumumkan jadwal RUPS karena biasanya pas RUPS perusahaan membahas tentang pembagian dividen, sehingga pembeliannya dilakukan ketika harga belum naik tinggi, dan kalaupun minus saat mau jual ga rugi-rugi amat. Oleh karena itu, ini strategy jangka pendek yang resikonya agak tinggi.

IPO adalah Initial Public Offering, yaitu masa penawaran awal sebuah emiten baru yang akan melantai di bursa efek. Seringkali, emiten yang baru melantai di bursa efek akan mengalami kenaikan yang cukup tinggi di hari-hari pertamanya, bahkan kadang hingga ARA. Mirip dengan Dividen Hunter, IPO Hunter akan memborong saham-saham yang sedang IPO lalu menjualnya beberapa hari setelah melantai. Namun, sekalinya harga saham tersebut turun, nilainya biasanya anjlok bahkan hingga ARB juga berhari-hari🤣. Selain itu, keuntungannya juga tipis-tipis karena biasanya lot yang dipesan ketika IPO dibatasi agar penjatahannya merata. Biasanya orang-orang pada menambah lot saat hari pertama melantai untuk meningkatkan keuntungan, makanya kadang ARA. Sama seperti Dividen Hunting, ini merupakan strategy jangka pendek yang resikonya agak tinggi.

Itulah macam-macam strategy investasi yang umum digunakan. Mau strategy apapun boleh-boleh saja, ga ada strategy yang paling benar atau yang paling jelek, sesuaikan aja sama preferensi masing-masing. Yang penting konsisten sama strateginya. Jangan invest tanpa strategy, itu berbahaya dan bisa nangis bawang ntar😂. Yang udah berstrategy pun masih beresiko rugi, apalagi tanpa strategy. Sama satu lagi, jangan FOMO. Ini mungkin kesalahan yang paling sering dilakukan pemula (termasuk gw🤣). Invest hanya ikut-ikutan doang yang lagi rame tanpa analisa sendiri. Bukannya untung malah terjebak saham gorengan. Ujung-ujungnya malah nyangkut dananya😂. Luruskan dulu niatnya di awal, mau jangka pendek atau jangka panjang. Kalau jangka panjang, bacalah laporan keuangannya dan pelajari analisa fundamentalnya. Kalau jangka pendek, pelajari analisa teknikalnya. Pahami resiko masing-masing strategy dan sesuaikan dengan budget masing-masing, karena tentu saja “high risk high return”. Kalau buat pemula yang baru belajar dan takut rugi, menurut gw lebih baik pakai strategy Dollar Cost Averaging atau Value Averaging dulu.