author-pic

Ferry S

An ISTJ, Type 5, Engineer, Gamer, and Thriller-Movies-Lover
Review Distro Linux: Petualangan Mencari OS Sesuai Kebutuhan
Sat. Jan 23rd, 2021 06:32 AM7 mins read
Review Distro Linux: Petualangan Mencari OS Sesuai Kebutuhan
Source: HuggingFace@TonyAssi - linux penguins

Setelah laptop kantor gw mati total untuk kedua kalinya, laptop gw diganti. Gw mulai mencoba trial & error terhadap beberapa OS. Yang jadi pertimbangan gw adalah:

  • Support Wayland atau ada fitur gesture tanpa harus di-install manual karena gw udah terbiasa dengan fitur ini di Windows 10 dan bikin gw lebih produktif buat pindah-pindah workspace;
  • Bisa custom tampilan tanpa ribet, karena gw suka oprek-oprek tampilan OS biar ga terlalu kaku😁;
  • Konsumsi memori ringan, karena saat kerja gw bisa menjalankan 3-4 Service Spring Boot ditambah Intellij, web browser buat browsing sambil dengerin Spotify, dan Postman buat ngetes API;

Untuk pilihan OS sebenarnya gw ga terlalu paham sama Linux, jadi gw trial & error aja sampai ketemu yang cocok. Tentunya OS yang lebih terkenal macam Ubuntu, Mint, Kali atau lainnya ga gw coba karena belum support Wayland atau gesture. Fedora dan Debian walaupun udah support Wayland ga gw coba, karena setelah gw lihat review di Youtube ternyata reviewnya pada kurang bagus dan konsumsi memori tinggi. Setelah mencoba beberapa distro, pada tulisan kali ini gw mencoba memberi rangkuman terhadap beberapa OS yang pernah gw coba. Kali aja berguna bagi newbie Linux seperti gw😅.

Sebelumnya gw pakai Centos 7 di laptop lama. Itu juga karena installer dari kantor adanya itu doang saat itu. Awalnya banyak bugs, salah satunya yang paling mengganggu ga bisa drag & drop dan harus setup driver wifi manual karena ga cocok di laptop. Tapi karena gw males install ulang lagi dan gw harus catch up beradaptasi dengan kantor baru jadinya gw biarin aja.

Hingga akhirnya laptop gw itu mati total untuk yang pertama kalinya, lalu diservice. Ketika laptopnya kembali kebetulan gw lihat ada Centos 8 baru rilis di web resminya, langsung aja gw download dan install di laptop yang baru pulih. Ukuran file ISO-nya cukup gede sih, kurang lebih 9GB. Paling gede diantara distro Linux yang gw coba. Tapi Centos 8 ternyata lebih stabil dari Centos 7, driver Wifi udah support 100% dengan laptop gw tanpa oprek-oprek manual. Ga ada lagi bugs yang ada di Centos 7 seperti freeze saat drag & drop. Desktopnya masih menggunakan Gnome sama seperti Centos 7. Point plusnya lagi sessionnya udah otomatis menggunakan Wayland. Ini fitur yang paling gw tunggu-tunggu di Linux. Minusnya, cukup berat di laptop gw, kadang hang. Konsumsi memorinya saat stand by tanpa buka aplikasi juga lumayan gede, 1.7GB😫.

Ini OS pertama yang gw jadiin bahan percobaan di laptop yang diganti. Tampilannya elegan mirip Mac OS. File ISO-nya kecil, 1.3GB. Konsumsi RAM-nya saat stand by juga 800MB, biasanya OS yang tampilannya modern bakal konsumsi banyak memori, tapi ini malah ringan😀. Desktop environmentnya menggunakan Pantheon, khusus OS ini doang. OS ini ga support Wayland, tapi katanya ada fitur gesture, makanya gw cobain. Ternyata fitur gesture baru mau ada di versi 6.0 yang masih belum tahu kapan rilisnya. Tampilannya juga ga bisa di-custom, walaupun sebenarnya udah bagus sih. Gw lihat ratingnya cukup bagus, padahal OS ini terbilang masih muda dibanding distro lainnya. Tapi tetap aja masih ada bugs yang mengganggu di laptop gw, seperti setelah sleep, laptop gw ga bisa scrolling halaman. Selain itu bluetooth selalu ON tiap login, walaupun sudah dimatikan, nanti pas restart laptop dia bakal ON lagi. Dan yang paling ribet setelah gw install Intellij, shortcut aplikasinya ga langsung muncul di launcher, tapi harus ditambahkan dulu secara manual dengan akses root.

Gw baca review di Reddit, katanya ini OS paling stabil yang support Wayland. FYI, Wayland itu masih termasuk baru, masih sedikit OS yang mengimplementasinya dan beberapa yang sudah mengimplementasi masih buggy. Ukuran ISO-nya 4.3Gb, lumayan gede sih, karena semua desktop environmentnya disatukan di ISO seperti KDE Plasma, Gnome, Xfce, terminal only, beserta beberapa aplikasi standar berdasarkan dekstop environmentnya yang cukup banyak. Gw milih KDE Plasma karena katanya lebih ringan dari Gnome. Xfce sebenarnya paling ringan sih, tapi ga include Wayland, jadi ga gw cobain. Saat login ternyata benar, ada pilihan login via Wayland dan Full Wayland. Awalnya gw coba Full Wayland, ternyata banyak bugs🤣. Gw buka Firefox aja langsung ngedip-ngedip tampilannya. Agak lag juga. Akhirnya gw logout lagi dan nyobain yang Wayland aja. Setelah gw test beberapa fitur, gw langsung jatuh cinta sama OS ini😍. Konsumsi memorinya 800Mb saat stand by. Di KDE Plasma banyak fitur yang bisa gw custom sesuka hati. Gesture geser kiri-kanan lancar, tapi ga inverted, sedangkan gw udah terbiasa di Windows gesture untuk pindah workspace itu inverted😥. Gesture-nya juga udah fixed, ga bisa diganti. Tapi yaudahlah, bukan masalah besar, paling gw harus adaptasi lagi. Tapi tetap ada bugs, saat hover mouse ke taskbar akan muncul tooltip kayak di Windows, tapi saat klik kanan hovernya juga ikut muncul, dan ketika cursor dialihkan ke menu klik kanan yang muncul, tooltip hilang, menu klik kanan juga hilang. Tapi masih gak apalah, tinggal gw non-aktifkan aja tooltip-nya di System setting. Bugs lainnya saat ganti tema ke tema gelap, kadang crash dan harus restart. Tapi abis restart bakal normal lagi. Lalu saat ganti ke tema terang lagi, bakal crash lagi. Tapi yaudahlah, gw kan make tema gelap doang, jadi abis ganti tema ke tema gelap gw ga bakal gonta-ganti tema lagi. Setelah gw yakin bakal pakai OS ini, tiba-tiba gw mendapatkan sesuatu yang mengganggu saat ngoding. Gw terbiasa menggunakan shortcut Ctrl+Alt+Left Click untuk menuju implementasi dari abstract di Intellij, tiba-tiba malah muncul animasi untuk pindah-pindah workspace. Gw coba cari cara buat ganti shortcutnya biar ga bentrok tapi ga ada. Gw coba cari di google dengan beberapa keyword juga ga nemu. Gw pikir ini bugs (padahal bukan, gw aja yang ga tahu nama fiturnya makanya ga nemu di google😂), trus karena mengganggu akhirnya gw coba OS lain.

Manjaro Nibia adalah OS Manjaro pertama yang menggunakan Wayland. Karena gw udah merasa cocok dengan KDE Plasma pada OpenSUSE Tumbleweed, gw memilih KDE Plasma juga buat Desktop Manjaro. Tapi ternyata install-nya ribet, gw harus convert hard-disk gw dulu ke GPT. Setelah install ternyata ga otomatis ada Wayland-nya, harus install dulu secara manual. Saat install pun lama banget karena saat itu mirror-nya down😤. Slogannya "enjoy the simplicity", tapi gw ga merasa simple, malah ribet. Saat buka Dolphin (File Manager) ga ada pilihan open with root kayak OpenSUSE. Jadi kalau mau oprek-oprek root harus lewat command line. Gesture-nya juga ga inverted, kayaknya ini memang standar dari KDE Plasma deh🙄. Tapi point plus-nya penggunaan RAM saat stand by sekitar 800Mb. Sama seperti KDE di OpenSUSE, gampang di-custom juga. Ternyata ini ga lebih baik dari OpenSUSE Tumbleweed. Pas customize tampilan gw baru nemu fitur Desktop Cube. Ternyata itu yang harus dinonaktifkan biar Ctrl+Alt+Left Click ga bentrok di Intellij. Kayaknya gw ga sengaja aktifin fitur itu tanpa tahu maksudnya saat menggunakan OpenSUSE, makanya shortcut-nya bentrok😂. Dan memang dokumentasinya ga ada sih.

Setelah gw liat beberapa review di Youtube katanya Manjaro Gnome ini adalah salah satu yang terbaik. Akhirnya gw cobain juga. Ini baru support Wayland langsung tanpa install manual lagi seperti Manjaro Nibia KDE. Mirror-nya juga lancar jaya saat install aplikasi. File Manager-nya pakai Nautilus, standar Gnome dan bisa open as root. Gesture-nya inverted, tapi atas-bawah kayak Centos 8, bukan kiri-kanan kayak Windows 10. Tampilannya bisa customize walau ga sebanyak di KDE Plasma. Panelnya bisa diganti dengan 6 pilihan tampilan, salah satunya mirip Mac OS pakai Docks gitu. Selama gw tes aman-aman aja sih. Sayangnya, konsumsi RAM mencapai 1.3Gb saat stand by. Awalnya gw memilih distro ini aja, tetapi setelah berbagai pertimbangan, gw akan menggunakan ini untuk menjalankan beberapa service dan aplikasi, belum lagi gw bakal browsing menggunakan beberapa tab, pasti konsumsi memorinya nanti membengkak. Akhirnya gw putuskan untuk kembali pakai OpenSUSE aja. Kebetulan masalah shortcut Ctrl+Alt+Left Click itu gw udah tau cara matiinnya😁.

Setelah googling, katanya untuk pemakaian jangka panjang mending pilih OpenSUSE Leap daripada Tumbleweed, lebih stabil. Versi Tumbleweed itu fiturnya paling terbaru, sering update dan ada kemungkinan ga stabil. Sedangkan versi Leap itu katanya lebih stabil walaupun update-nya sekali setahun. Akhirnya gw coba yang Leap. Kurang lebih sama kayak Tumbleweed minus beberapa fitur saat customize yang ga ada di versi Leap. Bugs-nya juga masih sama😅. Tapi ada bugs yang hanya ada di versi ini, yaitu screenshot. Aplikasi screenshot-nya menggunakan Spectacle, dan walaupun di daftar shortcut ada shortcut untuk ambil shortcut regional tapi pas dipencet ga muncul apa-apa. Shortcut window juga ga bisa. Satu-satunya cara screenshot hanya screenshot full screen aja, standar pencet tombol print screen doang. Selain itu, saat gw ganti panel, ternyata shortcut tombol Windows buat nampilin launcher tiba-tiba hilang😅. Firefox bawaannya juga ga bisa play Spotify di web. Yang katanya lebih stabil ternyata lebih ngebug dibanding versi Tumbleweed. Mana nungguin update-nya masih setahun lagi, sedangkan di Tumbleweed bugs ini udah fixed.

Akhirnya gw balik ke OpenSUSE Tumbleweed. Tapi kali ini gw mau nyoba versi Gnome-nya, kali aja versi Gnome di OpenSUSE Tumbleweed sama ringannya dengan versi KDE Plasma😀. Ternyata dugaan gw salah, penggunaan RAM saat stand by 1.3Gb, mirip Manjaro Gnome. Yang namanya Gnome dimana-mana tetap aja konsumsi banyak RAM. Selain itu tampilannya ga bisa di-custom kayak Manjaro Gnome. Tampilan panelnya standar Gnome doang, kayak Centos. Dan di Nautilus ga ada open as root juga, mau ga mau harus lewat command line. Ternyata ini juga ga lebih baik dari versi KDE Plasma dan Manjaro Gnome.

Akhirnya keputusan gw udah bulat, gw bakal menggunakan OpenSUSE Tumbleweed KDE Plasma🥰. Yang penting Desktop Cube dimatiin biar shortcut-nya ga bentrok dengan Intellij. Tooltip juga dimatiin biar ga ganggu klik kanan di taskbar. Masalah tema, Dark Breeze udah cukup buat gw dan ga ada niat buat ganti lagi. Arah gesture-nya tinggal adaptasi aja. Sisanya udah sesuai kebutuhan🤩. Tinggal install aplikasi-aplikasi tambahan yang dibutuhkan, custom-custom dikit, selesai😘.

Begitulah petualangan gw dalam menentukan OS Linux sesuai kebutuhan gw, selera gw dan produktivitas. Tentunya selera dan kebutuhan tiap orang beda-beda, tapi semoga tulisan ini bisa ngasih pencerahan buat para pencari distro Linux yang tepat bagi newbie macam gw😁.

Setelah update terakhir, Wayland session di Tumbleweed KDE lebih banyak bugs-nya. Seperti screenshot yang ga muncul, share screen pake google meet nge-blank, dan sering crash sendiri setelah beberapa menit. Ujung-ujungnya gw pakai session X11 yang hingga saat ini masih aman. Untuk gesture gw install LibInput Gestures, di sana lengkap tutorial cara installnya✌.